Follow Us @soratemplates

Jumat, 12 Januari 2018

hijrah muslimah

ALLAH Subhanahu Wata’ala pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada satu cahaya (iman).” (QS. Al Baqarah (2) : 257).

DATANGNYA hidayah terkadang unik, di luar nalar kita. Ia tidak berproses secara logis, bahkan terkesan instan. Ia bagaikan lailatul qadar yang menurut Buya Hamka, waktunya sebentar tetapi mampu mengubah jalan hidup.
Namun, jika dirunut datangnya hidayah sesungguhnyadiawali proses spiritual (mujahadah) yang panjang. Hidayah ibarat seorang siswa yang memperoleh penghargaan akademik karena kepintarannya. Upacara penghargaan memang berjalan hanya 10 menit. Namun, proses mencapai puncak prestasi tersebut butuh kerja keras untuk waktu yang lama.
Begitu juga hidayah. Untuk mendapatkannya, orang perlu berproses terlebih dahulu. Proses itulah yang akan mendatangkan pahala buatnya, sesuai dengan tingkat kepayahannya (al ujratu ‘alaa qodri al masyaqqah).
Adalah kisa yang terjadi dengan seorang Muslimah di Kudus, Jawa Timur. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama sekitar tahun 1991, ukhti yang kini menjadi pengasuh santriwati SMPII Luqman Al Hakim, Hidayatullah ini masuk sekolah kebidanan dan memilih tinggal di asrama. Saat itulah hidayah datang. Ia memutuskan untuk mengenakan busana Muslimah.
Ini keputusan hijrah yang luar biasa buat dirinya. Sebab, latar belakang pendidikannya bukan sekolah agama. Ia tak pernah diajarkan tentang kewajiban berhijab selama duduk di bangku sekolah. Yang ia pahami, menutup aurat hanya wajib ketika sedang shalat.
Keadaan ini diperparah oleh kurang simpatinya penampilan figur Muslimah berjilbab di kampungya. Jilbab diposisikan hanya sekadar tradisi. Pakaian luar itu tidak identik dengan kesucian batin dan keluhuran akhlak pemakainya.
Alhamdulillah, hidayah itu datang laksana fajar subuh(mitslu falaqish shubh), membuka belenggu hatinya, melapangkan dadanya untuk menerima cahaya kebenaran.
Ada harapan baru, motivasi baru, dan cara pandang baru.
Usai berhijrah, ia terus berupaya meningkatkan kualitas amal shalih, sebagaimana cara bersyukurnya Nabi Sulaiman AS:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk menger jakan amal Sholeh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang Sholeh.” (QS: An Naml [27] : 19).
Awal Datangnya Hidayah
Cerita ini bermula ketika lima siswi sekolah kebidanan membuat gebrakan tak biasa. Mereka memberanikan diri memakai jilbab di sekolah.
Yang menarik, langkah berani kelima siswi itu bukan sekadar ikut trendi, apalagi membuat sensasi. Mereka melakukan itu untuk sebuah keyakinan. Dan, mereka terlihat sangat kuat memegang prinsip (mabda). Mereka tak takut dengan siapa pun meski Surat Keputusan tentang dibolehkannya memakai jilbab di sekolah kesehatan belum turun.
Mereka terlihat sangat siap menanggung risiko tak diizinkan ikut ujian dan praktik lapangan, bahkan andai harus dikeluarkan dari sekolah sekalipun. Belum lagi harus menghadapi intimidasi, interogasi, pengucilan, pembunuhan karakter, dan dicitrakan ekstrim. Konsekuensi seberat apa pun mereka siap terima.
Mereka juga berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis. Mereka berperilaku terpuji. Dan, yang mencengangkan, mereka unggul dalam prestasi akademik.
Fenomena ini menumbuhkan rasa empati yang dalam pada iri sang ukhti kepada lima sahabatnya ini. Rasa empati ini kemudian berkembang menjadi keinginan yang besar untuk mengenal Islam lebih dalam lagi, utamanya syariat berjilbab.
”Apakah kita termasuk orang-orang yang hanya mengambil sebagian syariat yang sesuai dengan nafsusyahwat dan menanggalkan syariat yang lain (jilbab).
Hidayah Allah jangan disia-siakan sebelum Allah menggembok pintu hati kita.” Begitulah pesan lima pionir penegakan syariat di sekolah itu kepada sang ukhti pada suatu hari.
Maka, tahulah ia bahwa berhijab merupakan kewajibansetiap Muslim yang kedudukannya sama dengan wajibnya rukun Islam. Ia bersifat qath’iyyatuts tsubut (ketentuan yang pasti, mengikat).
Kata-kata yang diucapkan kelima sahabatnya tersebut laksana sihir (inna minal bayani la sihran) yangmenggugah kesadarannya. Pernyataan yang keluar dari hati itu (qaulan tsaqila, qaulan layyina, qaulan karima, qaulan ma’rufah) menghunjam kuat dalam hatinya, menguatkan tekad untuk segera mengambil keputusan penting dalam fase kehidupannya, yaitu berjilbab, sekalipun keluarga kurang mendukung.
Keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan modal perhiasan pemberian orang tua, sang ukhti membeli satu jilbab dan kain untuk mengganti seragam sekolah. Pakaian Muslimah yang hanya sepotong itu tentu saja tidak cukup. Sang ukhti terpaksa meminjam jilbab temannya jika jilbabnya kotor.
Awal mula memakai jilbab terasa canggung. Maklum, jilbab yang dipakai berukuran 150 cm. Ia tak biasa.
Namun, keyakinan di dalam lubuk hati mengalahkan semuaitu. Nikmatnya iman telah mengubah pola pandang, orientasi hidup, dan perilaku.
Bahkan, ada kenikmatan spiritual (lazzatur ruh), meminjam istilah Abul Ala Al Maududi dalam karya monumentalnya al Hijab, menjalar dalam tubuhnya.
Kenikmatan itu adalah ketenangan jiwa; terkontrolnya ucapan, sikap, dan perbuatan; tidak takut menghadapi ancaman dan teror yang dibuat manusia sekaligus penyerahan diri secara total kepada Allah Yang Maha Melindungi; terjaganya kesucian, kemuliaan, dan kehormatan; serta terangakatnya martabat.
Dia jadi teringat ungkapan bijak orang tua zaman dahulu: ajining rogo soko busono, ajining diri soko lathi (harga diri fisik seorang diukur dari cara berpakaian, kualitas kepribadian dinilai dari cara berbicara). Ia bisa memahami bahwa jilbab tidak sekadar asesoris, hiasan lahiriah, tetapi berpengaruh juga pada kesucian batin pemakainya.
Sejak itu, pakaian Muslimah yang dipakainya menjadi filter sikap, tutur kata, pergaulan, kesehariannya. Ia telah menemukan konsep kehidupan. Ia semakin rajin mengikuti berbagai kajian keislaman (liqo).
Halaqah-halaqah taklim telah membuka cakrawala pikirannya tentang kesempurnaan Islam. Ia semakin tidak khawatir dan tidak berduka setiap diterpa persoalan hidup. Ia mudah berfikir jernih dan tidak emosional. Berbagai ujian yang datang, ia pahami sebagai usaha untuk meningkatkan derajatnya dan mengurangi dosanya.
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
”… Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al Baqarah [2] : 38).
Berjuang Untuk Jilbab
Setelah diri mendapat hidayah maka tugas berikutnya adalah mengajak orang lain untuk menggapai hidayah yang sama. Itulah dakwah. Sang ukhti paham betul bahwa ia juga punya tanggungjawab sosial untuk mendakwahnya syariat Islam kepada orang lain.
Dakwah yang paling sederhana adalah teladan. Itu telah ia tunjukkan dengan ucapan, perbuatan, juga prestasi.
Tak cuma itu, sang ukhti dan beberapa aktivis Muslimah di Madiun, Jawa Timur, juga bertekat memperjuangkan syariat berjilbab di lembaga pendidikan kesehatan agar kelak adik-adik kelasnya bisa menjalankan syariat tanpa perasaan takut.
Mereka mencari dukungan para dokter di rumah sakit dan mendatangi Dinas Pendidikan Propinsi di Surabaya.
Alhamdulillah, pertolongan Allah datang. Surat Keputusan soal jilbab turun beberapa hari sebelum ujian. Semua siswi berjilab lulus dengan predikat sangat memuaskan dan sekarang telah bertugas ke berbagai daerah.
Bukan Mode
Saat ini wanita berjilbab telah menjadi pemandangan sehari-hari. Sayangnya, filosofi jilbab belum banyak dipahami secara utuh oleh pemakainya. Jilbab masih dimaknai sekadar mode, tak dijadikan fungsi taklim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah(pemurnian cara pandang), dantarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian).
Akibatnya, betapa banyak Muslimah yang berjilbab namun bebas bergaul dengan laki-laki lain yang bukan mahramnya. Pola berislam seperti ini jelas indicator sebuah kemunafikan. Nau’zubillah minzalik!
Sang ukhti adalah contoh nyata di zaman yang serba bebas sekarang ini bahwa tegaknya syariat harus diperjuangkan lewat dakwah dan teladan. Selebihnya, serahkanlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak memberi hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Kisah ini menunjukkan, bahwa hidayah juga bisa datang dengan cara diusahakan alias ‘dijemput’. Ini sebagaimana janji Allah Subhanahu Wata’ala;
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُّسْتَقِيمٍ
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus (Islam)”. (QS: Al-Hajj: 67)
Juga seperti firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al-Ankabut: 69).*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar